SENTRALISASI PEMBAYARAN GAJI POKOK PENDETA DI GMIT : SUATU STUDI PEMBANGUNAN JEMAAT

50080233, YOSEPUS ASBANU (2011) SENTRALISASI PEMBAYARAN GAJI POKOK PENDETA DI GMIT : SUATU STUDI PEMBANGUNAN JEMAAT. Thesis (S2) thesis, Universitas Kristen Duta Wacana.

[img] Text (Tesis Ilmu Teologi)
50080233_bab1_bab5_daftarpustaka.pdf

Download (1MB)
[img] Text (Tesis Ilmu Teologi)
50080233_bab2-sd-bab4_lampiran.pdf
Restricted to Registered users only

Download (1MB) | Request a copy

Abstract

Secara geografis, Jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (selanjutnya disebut GMIT) dikategorikan dalam dua kategori, yakni Jemaat perkotaan dan Jemaat pedesaan. Di antara Jemaat-jemaat ini, terdapat sejumlah perbedaan. Salah satu perbedaannya yang sangat menyolok adalah, kemampuan finansial antara Jemaat yang satu dengan Jemaat yang lainnya. Perbedaan finansial ini berdampak pula pada perbedaan penggajian pendeta. Hal ini disebabkan karena sekalipun penempatan dan besaran gaji pendeta ditetapkan secara sentralistik melalui Surat Keputusan (SK) Majelis Sinode, namun pembayaran gaji tersebut diserahkan kepada Majelis Jemaat di mana pendeta tersebut melayani. Sistem penggajian ini oleh GMIT disebut desentralisasi. Akibatnya, pendeta yang berada di Jemaat yang mampu, menerima gaji sesuai SK, sementara mereka yang melayani di Jemaat yang belum mampu, nyaris tidak pasti besar gaji yang diterima setiap bulannya. Hal ini mengusik rasa ketidakadilan dalam penggajian pendeta di GMIT. Sehubungan dengan itu, maka sejak bulan Juli 2009, GMIT memberlakukan sistem Sentralisasi Pembayaran Gaji Pokok Pendeta. Dengan sistem ini, semua pendeta menerima gaji pokok yang sama, termasuk mereka yang melayani di Jemaat yang belum mampu secara finansial. Jika kita melihat secara sambil-lalu, seolah-olah sistem sentralisasi ini hanya didorong oleh tuntutan ekonomi kontemporer, dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para “kaum berjubah” (sekalipun hal ini tidak mungkin disangkali). Namun setelah penulis melakukan pengkajian lebih jauh, ternyata hal ini tidak saja karena pertimbangan ekonomi, tetapi juga dilandasi oleh pertimbangan teologis. Bahwa sentralisasi gaji ini juga merupakan wujud dari rasa solidaritas (compassion) antara Jemaat yang satu dengan Jemaat yang lainnya. Rasa solidaritas ini merupakan makna dari suatu persekutuan (koinonia) yang selalu diperdengarkan oleh Gereja. Di sini, metafora “Tubuh Kristus” dan “keluarga Allah” yang sering dikenakan bagi Gereja mendapat maknanya secara konkret. Selanjutnya penulis menemukan, bahwa sentralisasi gaji ini juga merupakan autokritik terhadap pengelolaan dan pemanfaatan perbendaharaan Gereja selama ini, yang cenderung memprioritaskan pembangunan fisik, daripada perhatian terhadap manusia, terutama mereka yang berkekurangan. Sentralisasi juga mendorong GMIT untuk mewujudkan konsep pelayanan holistik yang telah lama dirumuskan, termasuk perhatian GMIT terhadap peningkatan ekonomi Jemaat. Dengan demikian, GMIT tidak saja menuntut kesadaran “memberi” dari Jemaat, tetapi juga turut memikirkan bagaimana Jemaat mendapatkan sesuatu sebelum dipersembahkan sebagai akta imannya. Dari studi Pembangunan Jemaat, penulis menemukan bahwa sistem penggajian pendeta secara sentralistik ini juga merupakan suatu tindakan (intervensi) Gereja yang cukup fungsional dalam rangka meningkatkan pelayanan GMIT secara menyeluruh. Tindakan ini merupakan “kolaborasi” atau “persenyawaan” antara iman dan akal budi (rasio) yang dilakukan bukan saja untuk menjawab kebutuhan “kekinian”, tetapi juga sekaligus merupakan tindakan antisipatif terhadap kebutuhan “keakanan” (masa depan) pelayanan Gereja. Sistem ini menempatkan Jemaat sebagai “subyek” yang berpartisipasi secara aktif dalam seluruh aspek pelayanan Jemaat, termasuk pembiayaan pelayanan. Sekalipun cukup positif, fungsional, dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis, namun sistem sentralisasi gaji pendeta ini pun tidak “steril” terhadap aspek negatif yang dapat terjadi. Gereja bisa saja terperangkap dalam satu ekstrem yang lain, yang menjadikan uang (materi) bukan sebagai sarana pelayanan, tetapi menjadi tujuan pelayanan. Hal ini penulis sebut sebagai “titik rawan”, sebab jika hal itu terjadi, maka GMIT telah kehilangan identitasnya sebagai pengemban “missio Dei” bagi dunia. Bagi penulis, sekalipun secara praktis, konteks menuntut GMIT untuk menyesuaikan (baca: merubah) strategi pelayanannya, namun secara prinsipil, GMIT harus tetap menjadi Gereja Tuhan yang terus membawa “Kabar Baik” bagi dunia yang terus berubah.

Item Type: Student paper (Thesis (S2))
Uncontrolled Keywords: Gaji, Pendeta
Subjects: B Filsafat. Psikologi. Agama > Kekristenan
B Filsafat. Psikologi. Agama > Teologi Praktis
Divisions: Fakultas Teologi > Magister Filsafat Keilahian
Depositing User: Ms Lea Destiany
Date Deposited: 24 May 2021 02:18
Last Modified: 24 May 2021 02:18
URI: http://katalog.ukdw.ac.id/id/eprint/4661

Actions (login required)

View Item View Item