01062081, ANDREAS KRISTIANTO (2012) MAKNA GAMBARAN ALLAH SEBAGAI LAKI-LAKI (PAHLAWAN PERANG) MENUJU PEREMPUAN YANG MENGERANG : SEBUAH TINJAUAN TEOLOGIS ATAS DEUTERO-YESAYA 42:10-17. Final Year Projects (S1) thesis, Universitas Kristen Duta Wacana.
Text (Skripsi Teologi)
01062081_bab1_bab5_daftarpustaka.pdf Download (1MB) |
|
Text (Skripsi Teologi)
01062081_bab2-sd-bab4_lampiran.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy |
Abstract
Dalam buku yang berjudul Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan, Walter Brueggemann menyatakan bahwa dengan menggunakan kata-kata benda untuk menamakan dan memberi karakter pada Yahweh, Israel mengenakan pada (atau mengakui dalam) Yahweh unsur-unsur konstansi dan substansi, yang atas suatu cara membuat Yahweh dapat dikenal atau tersedia bagi Israel.1 Kesaksian metafora atau gambaran yang diungkapkan oleh umat Israel menjadi sebuah pola tema teologi untuk memberikan karakter kepada Yahweh, tetapi metafor tersebut tidak serta merta menunjukan identitas yang mutlak, melainkan bersifat elastis (lentur), bergeser, dan berubah-ubah sesuai dengan situasi dari setiap pengalaman umat. Misalnya, Allah digambarkan sebagai gembala, Dia juga sekaligus non-gembala, Dlsb. Selain itu, di pihak lain pembicaraan mengenai Allah merupakan cultural creatures, yang artinya: berhubungan dengan nilai-nilai dan perjalanan komunitas iman yang menggunakannya. Elizabeth Johnson mengungkapkan bahwa as cultures shift, so too does the specificity of Godtalk. 3 Budaya komunitas umat berkaitan erat dengan kekhususan mengenai Allah. Berbicara tentang gambaran Allah berarti berbicara tentang teologi kontekstual. Artinya, teologi yang lahir dari perspektif empiris yang ditemukan di tengah-tengah jemaat dalam pergumulan manusia secara eksistensial, karena teologi bukan hanya berbicara tentang Allah, tetapi yang menjadi sasaran adalah gambaran-gambaran atau model-model mengenai Allah. Berbeda dengan teologi tradisional-formal-normatif yang didominasi oleh rumusan-rumusan proposisional. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan konsep gambaran teologis yang ideal, maka tugas yang penting adalah mereparasi lubang-lubang dari penghayatan teologi rakyat atau grassroot jemaat yang mengalami ketimpangan atau berat sebelah, sehingga hal yang dilakukan adalah mempertimbangkan dan mengembangkan teologi jemaat untuk keperluan jemaat atau gereja.4 Pertanyaan yang bisa diajukan adalah bagaimana me-reinterpretasi teks dalam rangka kajian kontekstual? Selain itu, bagaimana teks tersebut mempengaruhi penafsiran dan perubahan makna bagi pembaca?5 Tentunya, teologi menjadi idea penghayatan iman bagi jemaat dalam mengembangkan dan membangun iman sesuai dengan konteks yang ada dan bukan berfungsi untuk membekukan iman jemaat. Dengan bahasa lain, apakah teologi masih melayani umat ataukah hanya melanggengkan status quo yang ada? Dari sini, tampak bahwa bahasa teologis dan bahasa sehari-hari dijembatani metafora yang di dalamnya pengalaman manusiawi menjadi analog untuk pengalaman religius.6 Dalam perkembangan selanjutnya, wacana tema gambaran Allah ini menjadi sebuah ideologi agama untuk mengusung nama Yahweh atau Allah dalam kehidupan umat. Dalam wacana teologis, lazimnya kita tergoda untuk memilih salah satu yang kita sukai, membiarkan yang kita pilih itu mendesak keluar yang lain dan membuat yang kita pilih itu menjadi mutlak.7 Ada kelompok aliran agama tertentu di Indonesia yang mengusung metafora Allah sebagai pahlawan dengan menggambarkan sosok dengan kekuatan dahsyat, penjaga moral (Hakim dan Raja). Tentunya, hal ini menjadi keyakinan yang problematis, menimbulkan pandangan yang kontradiktif dan bermakna ambigu di tengah konteks serta setting budaya yang heterogen.8 Biasanya, pandangan gambaran Allah yang berperang menjadi sebuah ideologi agama yang bersifat keras dan menghakimi umat manusia. Ada kompleksitas mengenai interaksi komunikasi di antara teks, zaman penafsir dan pembaca termasuk pengarang sejarah, serta pendengar mengenai sumber sejarah, tradisi dan realitas teks yang kemudian berpengaruh terhadap pola dikotomi di antara teks dan realitas itu sendiri.9 Selain itu, di sisi yang lain metafora atau gambaran kelembutan dan kasih sayang yang ditujukan kepada Allah mulai dibangkitkan oleh gerakan feminis. Kelompok feminis ingin mengembangkan metafora Allah sebagai seorang perempuan agar menjadi sebuah kesadaran dan transformasi hidup manusia yang seimbang dengan kaum pria. Dulu, perempuan hanya disimbolkan sebagai makhluk penggoda, tetapi selanjutnya mengalami perubahan di mana terdapat proses yang panjang dalam meruntuhkan pandangan lama kemudian membangun pemahaman baru tentang sosok seorang perempuan. Misalnya, dalam budaya Jawa terdapat ideologi konco wingking dengan sasarannya yaitu perempuan. Konsep ini menempatkan perempuan sebagai pelengkap dari ksatria Jawa dan salah satu cara untuk melucuti kesadaran perempuan. Intinya, perempuan harus diposisikan sebagai bagian pelengkap dan pelayan dari laki-laki. Budaya yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan masih banyak terjadi di Indonesia. Teks-teks agama juga menekankan androsentrisme10 juga beredar dengan begitu kuat, sehingga munculnya persoalan ketidakadilan gender menjadi isu yang semarak antara hubungan laki-laki dan perempuan. Seakan-akan, terjadi “pertarungan” antara laki-laki dan perempuan untuk mengangkat keberadaan diri. Proses maskulinisasi terhadap teks Alkitab sangat menonjol baik itu dipengaruhi oleh konteks budaya Alkitab itu sendiri maupun oleh konteks pembaca. Selain itu, proses maskulinisasi sudah menjadi sistem patriaki yang kuat dan menjadi corak dalam suatu komunitas masyarakat. Karena patriarki telah menjadi ideologi yang kompleks, baik secara politis maupun ekonomis dari perbedaan jenis kelamin, ras, kelas sosial, budaya dan dominasi agama yang berdampak pada perempuan.11 Sistem sosial kekuasaan yang selalu ada di tangan laki-laki dan perempuan hanya berada di bawahnya dan menjadi pola yang berlaku di tengah masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sharon Tiffany bahwa:12 The sense of patriarchy now developed as the archetypal pattern of oppressive governance by men with little regard for the well-being or personal fulfillment of women, for the more significant human values or for the destiny of the earth itself. Sistem ini menyebabkan realitas sistemik yang bersifat menindas dan mendominasi dengan menggunakan bahasa androsentrisme dan pusatnya adalah kepentingan para elit (kyriocentric /master-centered). Tentunya ini menjadi kesadaran yang besar dalam menentukan dan menggali teks Alkitabiah. Penggalian tersebut tidak hanya tertuju pada makna penerima teks, tetapi juga makna pembuat teks. Karena teks merupakan produk dari komunitas, tentunya teks tersebut membutuhkan diskusi untuk menjadi bagian dari komunitas.13 Pandangan dikotomi antara teks dan realitas menyebabkan munculnya paradigma androsentrisme yang menciptakan isu-isu keterpisahan antara lain: teks dari realitas, para ahli dengan warga negara, keingintahuan subjek dari objektifitas, dan semua itu berada di tengah relasi kekuatan politis komunitas masyarakat.14 Dengan demikian teks yang merujuk pada gambaran atau metafora Allah menjadi bahan kajian yang multisistemik dan multikompleks di tengah dunia sosial, politik, ekonomi, budaya dan historis. Latar belakang dan wacana teologi berkaitan dengan metafora Allah ini menjadi fokus dan perhatian penulis untuk menyajikan dan menggali teks Alkitab mengenai makna gambaran Allah sebagai laki-laki dan perempuan. Biasanya, kita menjumpai karakter-karakter Yahweh secara terpisah-pisah dalam kitab Perjanjian Lama, tetapi uniknya gambaran Allah sebagai lakilaki dan perempuan ini berada dalam perikop dan situasi konteks pembuangan yaitu situasi Hamba Yahweh yang menderita (Yesaya 42:10-17). Perikop ini menunjukkan koherensi antara peran dari Allah sebagai laki-laki dan perempuan. Terlihat dalam ayat 13 dan 14 tertulis: Tuhan keluar berperang seperti pahlawan, seperti orang ia membangkitkan semangat-Nya untuk bertempur, Ia bertempik sorak, ya Ia memekik terhadap musuh-musuh-Nya Ia membuktikan kepahlawanan-Nya (ay.13). Aku membisu dari sejak dahulu kala, Aku berdiam diri, Aku menahan hati-Ku sekarang aku mau mengerang seperti perempuan yang melahirkan. Aku mau mengah-mengah dan megap-megap (ay.14).15 Allah digambarkan sebagai pahlawan yang jantan dan setelah itu Allah digambarkan sebagai seorang perempuan yang mengerang. Uniknya, kedua gambaran ini terjadi dalam satu perikop pasal 42 dengan konteks Hamba Yahweh yang menderita. Tentunya, ini menjadi suatu pola teologis yang menarik untuk dicari dan digali makna yang terkandung di dalamnya. Selain itu, perlu untuk melihat kondisi historis serta sosial budaya yang terjadi dalam Yesaya 42:10-17 ini supaya menemukan pergumulan bangsa Israel dalam mengungkapkan makna gambaran Allah sebagai laki-laki dan perempuan.
Item Type: | Student paper (Final Year Projects (S1)) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Yesaya, Gambaran Allah, Perjanjian lama |
Subjects: | B Filsafat. Psikologi. Agama > Kekristenan B Filsafat. Psikologi. Agama > Alkitab |
Divisions: | Fakultas Teologi > Filsafat Keilahian |
Depositing User: | Ms Lea Destiany |
Date Deposited: | 10 May 2021 02:19 |
Last Modified: | 10 May 2021 02:19 |
URI: | http://katalog.ukdw.ac.id/id/eprint/3525 |
Actions (login required)
View Item |