57130001, DARWITA HASIANI PURBA (2017) SEKSUALITAS QUEER DAN GEREJA EKLESIALOGI YANG MEMBEBASKAN DAN MENTRANSFORMASI PANDANGAN GEREJA-GEREJA LUTHERAN DI INDONESIA TERHADAP KELOMPOK SEKSUALITAS QUEER MELALUI PENDEKATAN HERMENEUTIK FEMINIS KRITIS DALAM KISAH SODOM DAN GOMORA (KEJADIAN 19:1-29). Desertations (S3) thesis, Universitas Kristen Duta Wacana.
Text (Disertasi Teologi)
57130001_bab1_bab7_daftarpustaka.pdf Download (3MB) |
|
Text (Disertasi Teologi)
57130001_bab2-sd-bab6_lampiran.pdf Restricted to Registered users only Download (6MB) | Request a copy |
Abstract
Istilah Queer merupakan sebuah payung istilah yang dipergunakan untuk menunjuk pada seksualitas non-heteronormatif, seperti Lesbian, Gay, Biseks, Interseks, Transgender dan Queer (LGBTIQ). Istilah Queer pada awalnya dipergunakan sebagai sebuah ejekan atau cemohan kepada kelompok homoseksual, namun akhirnya istilah ini berkembang di dunia akademis, sebagai studi tentang gender dan seksualitas. Sekalipun studi tentang Queer sudah berkembang, namun pandangan gereja-gereja terhadap kelompok seksualitas Queer masih bersifat negatif. Hal ini dipengaruhi pembacaan gereja terhadap teks-teks Alkitab yang terkait dengan seksualitas Queer, seperti: Kejadian 19:1-29, Imamat 18:22, 20:13, Hakim-Hakim 19, I Korintus 6:9, Roma 1:26-27, dan I Timotius 1:10. Menurut Elisabeth Schussler Fiorenza, penafsiran terhadap teks dipengaruhi oleh paradigma biblis yang dimiliki oleh pembaca teks. Fiorenza menawarkan paradigma retorika emansipatoris, yakni paradigma yang melihat Alkitab bukan sebuah naskah yang tertutup, melainkan naskah yang terbuka, yang dapat diperdebatkan. Oleh karena itu, paradigma ini membuka forum radikal demokratis sebagai ruang untuk berdebat, membangun argumentasi dan imaginasi kreatif, bukan untuk menemukan kebenaran tunggal melainkan keragaman makna. Hermeneutik feminis kritis yang dikembangkan oleh Fiorenza ini mempergunakan paradima retorika emansipatoris untuk membaca teks. Hermenutik ini bersifat partisipatif-praksis yang dapat melibatkan banyak pihak dalam pembacaan teks. Dalam penelitian ini, warga jemaat gereja-gereja Lutheran di Indonesia mempraktekkan pembacaan teks dengan mempergunakan hermeneutik feminis kritis ini. Warga gereja-gereja Lutheran yang dimaksud adalah kelompok seksualitas Queer dan kelompok heteroseksual. Teks yang dibaca adalah kisah Sodom dan Gomora (Kejadian 19:1-29), teks yang terkenal untuk menghukum kelompok seksualitas Queer. Gereja-gereja Lutheran di Indonesia, pada umumnya, menolak kelompok seksualitas Queer karena dianggap melakukan dosa perzinahan dan tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Penolakan ini terlihat dalam aturan siasat gereja. Di sisi yang lain, budaya Batak yang patriarki sangat mementingkan keturunan sebagai cara untuk mempertahankan nilai-nilai sistem sosial Dalihan na Tolu dan sahala dalam kehidupan. Kelompok seksualitas Queer dianggap tidak dapat memenuhi nilai-nilai masyarakat Batak tersebut karena tidak dapat memberikan keturunan. Selain itu, masyarakat Batak juga sangat komunal, terlihat dalam wujud bentuk rumah. Sifat komunal pada masyarakat Batak menjadi lahan subur budaya patriarki tetap dipertahankan. Di lain pihak, gereja-gereja Lutheran di Indonesia juga dipengaruhi oleh teologi pietisme dari misionaris yang datang ke Indonesia. Teologi pietisme ini menolak keberadaan seksualitas Queer. Berdasarkan hal di atas, hasil pembacaan dari teks kisah Sodom dan Gomora pada Kejadian 19:1-29 yang dilakukan oleh kelompok seksualitas Queer dan kelompok heteroseksual adalah kisah Sodom dan Gomora tidak ada hubungannya dengan seksualitas Queer (homoseksualitas), melainkan persoalan ketidakpedulian terhadap orang miskin, kecongkakan, sikap hedonisme, seperti disebutkan dalam kitab Yehezkiel 16:49-50. Seksualitas hanya dijadikan alat politik untuk menaklukkan orang yang dianggap musuh Setelah pembacaan teks dengan memakai metode hermeneutik feminis kritis tersebut, terjadi pembebasan dan transformasi dalam diri si pembaca. Pembaca teks dari kelompok heteroseksual merasa terbebas dari phobia terhadap kelompok seksualitas Queer. Sementara itu, kelompok seksualitas Queer merasa terbebas dari tuduhan-tuduhan teks Kitab Suci selama ini, yang menganggap mereka adalah orang-orang berdosa, jahat dan tidak bermoral. Teks Kitab Suci sendiri terbebas dari pemahaman pembaca teks selama ini yang menganggap, bahwa teks tersebut adalah teks untuk menghukum kelompok seksualitas Queer. Selain mengalami pembebasan, pembaca teks juga diharapkan melakukan tindakan aksi transformasi, yakni melakukan sesuatu membantu orang lain dan dunia sekitarnya juga berubah, atau mengalami pembebasan juga. Akhirnya, pembaca teks Kejadian 19;1-29 ini pun merumuskan sebuah eklesialogi (bukan eklesiologi), yang berasal dari rumusan ekklesia, yakni kumpulan orang merdeka untuk menentukan visi mereka untuk kesejahteraan bersama. Eklesialogi yang dimaksud adalah gereja sebagai “rumah pergerakan bersama.” Rumah yang dimaksud adalah rumah masyarakat Batak yang mempunyai banyak makna: kegembiraan, kesedihan, persekutuan, tempat pulang, tempat berdialog. Namun di sisi yang lain, rumah bagi orang Batak juga menyatakan sebuah ketelanjangan yang terbuka melalui simbol cicak menghadap empat payudara, dan di balik ketelanjangan ada sesuatu yaitu sesuatu yang tidak pernah dibicarakan: yakni erotisme yang tersembunyi . Oleh karena itu, rumah bagi orang Batak adalah tempat segala dinamika kehidupan. Namun rumah yang dimaksud bukan rumah yang statis, melainkan rumah yang dinamis, yakni rumah pergerakan. Pergerakan yang dimaksud adalah sama seperti pergerakan Allah, mulai dari pernciptaan sampai kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, bahkan sampai saat ini: Allah bergerak membebaskan dan mentransformasi dunia untuk mewujudkan dunia yang adil, damai dan sejahtera. Berdasarkan hal di atas, gereja sebagai rumah pergerakan bersama adalah gereja yang terbuka pada siapa saja tanpa mengecualikan siapa pun (exclude). Gereja sebagai rumah pergerakan bersama adalah gereja yang dinamis, terbuka dan menyediakan ruang-ruang dialog dengan segala hal, termasuk ilmu pengetahuan. Gereja sebagai rumah pergerakan bersama adalah gereja yang mau membicarakan semua persoalan jemaatnya, termasuk persoalan gender dan seksualitas. Gereja sebagai rumah pergerakan bersama adalah gereja yang tanpa batas gender dan seksualitas, gereja yang bukan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu gereja sebagai rumah pergerakan bersama adalah gereja yang menerima siapa saja tanpa batas-batas, gereja yang aman dan nyaman bagi siapa saja. Oleh karena itu gereja sebagai rumah pergerakan bersama adalah gereja “tempat untuk pulang” bagi siapa saja. Gereja sebagai rumah pergerakan bersama adalah gereja yang membebaskan dan mentransformasi kehidupan.
Item Type: | Student paper (Desertations (S3)) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | SEKSUALITAS QUEER, EKLESIALOGI YANG MEMBEBASKAN DAN MENTRANSFORMASI, PANDANGAN GEREJA-GEREJA LUTHERAN DI INDONESIA, PENDEKATAN HERMENEUTIK FEMINIS KRITIS, SODOM DAN GOMORA, KEJADIAN 19:1-29. |
Subjects: | B Filsafat. Psikologi. Agama > Agama B Filsafat. Psikologi. Agama > Teologi Praktis H Ilmu Sosial > Sejarah dan Kondisi Sosial. Permasalahan Sosial. Reformasi Sosial |
Divisions: | Fakultas Teologi > Doktor Teologi |
Depositing User: | Mr Brayen Samuel Paendong |
Date Deposited: | 19 Jun 2020 02:34 |
Last Modified: | 19 Jun 2020 02:34 |
URI: | http://katalog.ukdw.ac.id/id/eprint/1827 |
Actions (login required)
View Item |