%L katalog5739 %D 2017 %K Gereja, Kekristenan, kebudayaan, kepemimpinan, misi, kontekstualisasi, perjumpaan, relasi dialektis, transformatif, pelayanan, moralitas. %T GEREJA DAN KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT KEI. SUATU DIALOG TRANSFORMATIF ANTARA KEPEMIMPINAN GEREJA DAN KEPEMIMPINAN DALAM PEMERINTAHAN ADAT KEI %A Yosep Harbelubun %I Universitas Kristen Duta Wacana %X Kepemimpinan menyentuh berbagai segi kehidupan manusia. Oleh karena itu, kepemimpinan merupakan topik yang tetap aktual dan relevan hingga saat ini. Dari dulu hingga kini, kepemimpinan selalu menjadi topik yang menarik dalam berbagai diskusi dan dijadikan obyek berbagai penelitian. Diskusi dan penelitian itu menghasilkan ilmu kepemimpinan yang lebih mutakhir dan menentukan keberhasilan dalam berbagai organisasi. Aspek kepemimpinan juga mendapat perhatian penting dalam institusi Gereja Katolik dan masyarakat adat Kei. Kepemimpinan di dalam Gereja terkait erat dengan Yesus dan kepemimpinan dalam pemerintahan adat Kei terkait erat dengan hukum adat Larvul Ngabal. Bagi Yesus dan hukum Larvul Ngabal, pelayanan merupakan unsur kunci dari kepemimpinan. Pembicaraan seputar hubungan antara kepemimpinan Gereja dan kepemimpinan dalam pemerintahan adat Kei ditempatkan dalam konteks hubungan antara Kekristenan dan kebudayaan. Hubungan itu dapat ditelusuri secara historis pada perjalanan misi Gereja yang mengacu pada “Amanat Agung” dari Yesus dalam Matius 28:19-20. Amanat Agung menjadikan misi bercorak universal dan memungkinkan Gereja berjumpa dengan pelbagai kebudayaan bangsa manusia. Sejarah perjumpaan Gereja dan kebudayaan diwarnai oleh dua perode misi: kolonialisme dan poskolonialisme. Misi zaman kolonialisme yang bergandengan dengan imperialisme Barat menekankan “kristenisasi” dan berdampak pula pada “penaklukan” kebudayaan-kebudayaan lokal. Sementara itu, misi zaman poskolonial menandai era baru dimana kebudayaan-kebudayaan lokal mendapat tempat yang sentral dalam misi Gereja. Misi zaman poskolonial memberi apresiasi pada nilai-nilai kearifan lokal karena di dalamnya terkandung pula nilai-nilai Injil. Pemahaman yang lebih apresiatif ini mendorong adanya upaya dari Gereja untuk menjadi Gereja yang pribumi melalui inkulturasi dan kontekstualisasi. Dalam Gereja Katolik, upaya itu mendapat “angin segar” (aggiornamento) melalui Konsili Vatikan II, yang kemudian secara regional dipertegas oleh FABC (Federation of Asian Bishops’ Conferences) dan SAGKI (Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia). Sejarah Gereja Katolik di Kei menunjukkan bahwa perjumpaan antara Gereja dan Kebudayaan masyarakat Kei terjadi dalam alur misi seperti diuraikan di atas. Gereja Katolik di Kei dapat bertumbuh dan maju pesat karena Gereja mampu menyatu dengan masyarakat dan kebudayaan Kei. Kondisi ini didukung oleh unsur-unsur kebudayaan Kei yang secara substantif mengandung pula nilai-nilai Injil. Hukum Larvul Ngabal dan paham ain ni ain mewakili berbagai unsur kebudayaan lain yang mencerminkan nafas Kekristenan. Dalam konteks perjumpaan itulah, pembicaraan tentang “Gereja dan kepemimpinan dalam masyarakat Kei”, lebih spesifik lagi “hubungan antara kepemimpinan Gereja dan kepemimpinan dalam pemerintahan adat Kei” dapat terealisir. Gereja dan kebudayaan Kei menempatkan “pelayanan” dan “moralitas” sebagai inti dari kepemimpinan sebagaimana juga ditekankan dalam kepemimpinan transformasional. Oleh karena itu, kepemimpinan Gereja dan kepemimpinan dalam pemerintahan adat Kei merupakan kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional memberi tempat bagi adanya “relasi dialektis” yang “transformatif”, sehingga hubungan antara kepemimpinan Gereja dan kepemimpinan adat Kei pun ditempatkan dalam konteks itu. Pada tempat inilah terjadi “transformasi dua arah”, dimana Gereja dan kebudayaan Kei saling mempengaruhi dalam arti memperkaya satu dengan yang lain. Kata-kata kunci: Gereja, Kekristenan, kebudayaan, kepemimpinan, misi, kontekstualisasi, perjumpaan, relasi dialektis, transformatif, pelayanan, moralitas.