%0 Thesis %9 Masters %A 51140002, DIDIK TRIDJATMIKO %A Universitas Kristen Duta Wacana, %B Magister Kajian Konflik dan Perdamaian %D 2017 %F katalog:4871 %I Universitas Kristen Duta Wacana %K Eklesiologi Sahabat Alam , Eko-teologi, GKI Bromo, kohesi sosial dan DAS Brantas %P 106 %T EKLESIOLOGI SAHABAT: GKI BROMO MELAWAN ECOCIDE %U https://katalog.ukdw.ac.id/4871/ %X Kita hidup di zaman ecocide. Dunia sedang berhadapan dengan bencana ekologi, dan manusia adalah terdakwa utama penyebab bencana ekologi. Akar dari bencana ekologi adalah antroposentrisme dan materialisme. Manusia menjadi homo economicus, mendominasi dan mengeksploitasi alam melampaui daya dukungnya. Manusia menempatkan dirinya sebagai mahkota ciptaan dan memandang alam sekadar sebagai objek ekonomi. Maka atas nama kesejahteraan manusia, terjadilah ecocide, yakni tindakan penghancuran ekosistem secara sistematis melalui tindakan eksploitasi secara terus menerus dan melebihi batas. Krisis ekologi adalah krisis relasi, krisis pembangunan, krisis komitmen masyarakat dan sekaligus krisis eklesiologi. Di abad ecocide ini Gereja dipanggil untuk merumuskan misiologi dan eklesiologi yang ramah lingkungan. Untuk itu Gereja perlu membaca Alkitab dalam persepektif bumi, dan menggembosi pendekatan antroposentris dalam penafsiran Alkitab. Upaya hermeneutis ini urgen dalam rangka konstruksi eko-telogi kontekstual. Ekologi mendapat ruang yang cukup penting dalam tata ciptaan. Tiada penciptaan yang tidak berisi alam dan tiada keselamatan yang tidak mengikut-sertakan alam. Alam adalah bagian integral dari karya penciptaan dan penyelamatan Allah. Jika alam diselamatkan Tuhan dan mendapat bagian dalam janji Tuhan, maka gereja dipanggil untuk terlibat dalam penggenapan janji Tuhan: menjadi “Sahabat Alam” yang peduli terhadap keutuhan ciptaan. Eklesiologi dan misiologi gereja harus merangkul alam. Gereja dalam kohesi sosial dengan seluruh komponen masyarakat dipanggil dan diutus untuk melawan ecocide dan menyembuhkan alam semesta. Untuk itu gereja perlu melakukan edukasi kepada anggotanya, dan masyarakatnya. Praksis hidup menggereja diwarnai upaya pendarah-dagingan hukum kasih yang ketiga: “kasihilah sesama ciptaan, seperti kamu mengasihi Allah, mengasihi dirimu sendiri dan mengasihi sesamamu manusia.”