%0 Thesis %9 Masters %A 51080189, MINGGUS %A Universitas Kristen Duta Wacana, %B Magister Ilmu Teologi %D 2012 %F katalog:3711 %I Universitas Kristen Duta Wacana %K Konflik, Kepemimpinan, Gereja %P 142 %T KONFLIK KEPEMIMPINAN ANTAR PEJABAT GEREJAWI SERTA PENGARUHNYA BAGI PERTUMBUHAN JEMAAT DI GKA ELYON RUNGKUT SURABAYA %U https://katalog.ukdw.ac.id/3711/ %X Berbagai relasi antar manusia, baik secara personal maupun komunal tidak pernah bersih dari muatan kepentingan, perselisihan, penguasaan, permusuhan, dan penindasan. Seolah inilah yang menjadi kodrat sosial dalam sejarah masyarakat manusia. Akibatnya, manusia membangun berbagai pengetahuan (nilai) dan aturan sosial (norma) untuk menjaga tubuh masyarakat yang disusun oleh rentannya relasi-relasi sosial tersebut. Dampaknya, muncul krisis sosial yang mana setiap elemen masyarakat seolah berhak menentukan pilihan sikap atas elemen masyarakat yang lain. Dari banyak kemungkinan sikap, konflik dengan cara kekerasan menjadi salah satu sikap yang diambil masyarakat. Wajar bila kemudian konflik menjadi unsur penting dalam kehidupan. Berarti di setiap bidang kehidupan, selalu mungkin terjadi konflik. Namun, anggapan bahwa setiap interaksi perlu melibatkan konflik adalah salah. Pada dasarnya, manusia mempunyai kemampuan untuk mengembangkan relasi, pergaulan dan ketrampilan sedemikan rupa tanpa menimbulkan konflik yang destruktif. Kalaupun terjadi konflik, maka konflik tersebut hendaknya dapat diselesaikan dengan baik. Gereja sebagai bagian dari komunitas manusia di tengah masyarakat juga tidak lepas dari konflik. Tidak jarang konflik yang terjadi berujung pada perpecahan, sehingga mengorbankan jemaat. Dalam penelitian ini, penulis memilih GKA Elyon Rungkut, Surabaya, sebagai gereja contoh. Gereja ini adalah salah satu gereja yang masih mempertahankan budaya mayoritas sebagai identitasnya kegerejaannya. Namun tidak semua jemaat dan pejabat gerejawi setuju dengan identitas tersebut. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan munculnya konflik kepemimpinan di GKA Elyon Rungkut, Surabaya. Tentunya ada faktor-faktor lain yang perlu juga dicermati sebagai penyebab. Penulis mengamati dua faktor pemicu, yaitu sistim dan kerekanan di antara pejabat gereja gerejawi. Sistim berarti terkait dengan proses pengambilan keputusan maupun komunikasi struktural yang menghubungkan antar bagian. Sistim berarti merupakan keleluasaan bagi satu pihak, tapi sekaligus menjadi batasan bagi pihak lain. Persoalannya, siapakah yang berkuasa menentukan keleluasaan dan batasan? Dalam konteks inilah ketidakpuasan atas posisi dan peran sangat mungkin terjadi. Di sisi yang lain, secara teori adanya persoalan mencerminkan kesenjangan relasi atau buruknya hubungan yang terjadi antar pejabat gerejawi. Penyebabnya bisa beragam. Mungkin karena kesalahpahaman yang tidak terselesaikan, ketidakjelasan sistim yang dianut, persoalan karakter, atau karena hal-hal lain yang pribadi sifatnya. Untuk mendapatkan kepastian yang terukur, penulis menggunakan dua instrumen, yaitu Congreggational Systems Inventory dan Thomas-Kilmann Conflict. Kuesioner pertama bertujuan menemukan perspektif para pejabat gerejawi terhadap posisi mereka masing-masing dalam kaitannya dengan konflik kepemimpinan. Sedankan kuesioner kedua lebih bersifat afirmatif terhadap hasil dari kuesioner pertama, yaitu melihat gaya berkonflik para pejabat gerejawi. Hasil dari kedua metode tersebut akan dibandingkan dan dianalisa sehingga menghasilkan kesimpulan serta strategi terkait dengan persoalan yang diteliti. Jadi kedua instrumen ini merupakan alat ukur yang hasilnya akan memberikan gambaran mengenai persepsi, kualitas relasi dan sikap masing-masing bagian dalam kesatuan sistim. Dengan demikian didapat gambaran utuh, pasti dan terukur yang kemudian menjadi pertimbangan penulis dalam mengusulkan solusi bagi pergumulan konteks.