@phdthesis{katalog3526, author = {YOSES REZON SUWIGNYO 01062101}, title = {KEBAHAGIAAN YESUS DI ATAS KAYU SALIB : UPAYA DIALOGIS MELIHAT PERISTIWA YESUS DALAM INJIL LUKAS 23:33-43 DENGAN FILOSOFI HIDUP JAWA}, month = {February}, school = {Universitas Kristen Duta Wacana}, year = {2012}, abstract = {Semangat kekristenan yang sedang terjadi saat ini merupakan semangat dalam membangun sebuah teologi yang ?membebaskan? atau ?memerdekakan? kaum tertindas, terpinggirkan, tidak terperhatikan dan bahkan semua bentuk yang mengarah pada ?penderitaan?. Semangat tersebut dapat dilihat sebagai nilai positif dalam upaya melanjutkan karya-karya Yesus yang selalu berpihak pada orang-orang yang menderita. Oleh karena itu, dalam konteks Asia pada umumnya, tidaklah sedikit para teolog ternama mencoba menawarkan beberapa sumbangsih pemikiran dalam menanggapi masalah penderitaan manusia. Choan Seng Song sebagai salah seorang teolog Asia, memberikan salah satu pemikirannya dalam buku ?Allah yang Turut menderita? dengan berkata bahwa ?teologi kemuliaan telah menyerah pada teologi penderitaan?.1 Artinya, teologi Allah yang militan (Allah sebagai khalik dari segala sesuatu, Yang Esa) digantikan oleh teologi Allah yang ikut menderita (Allah yang dipandang sebelah mata). Pemikiran ini mengindikasikan bahwa ada pergeseran dari teologi Kristen mengenai sosok Allah yang dipahami. Pijakan yang dilakukan ialah masuk ke akar keberadaan manusia, yaitu penderitaan. Di sisi lain, Aloysius Pieris yang dikenal juga sebagai teolog pemerdekaan dalam buku ?Berteologi dalam konteks Asia? memberikan pula usulan-usulan bagi pemerdekaan Asia yang sarat dengan persoalan penderitaan, terutama berhubungan dengan konteks kemiskinan dan juga pluralisme agama. Salah satu pemikirannya yaitu manusia yang menderita di dalam keberadaannya sebagai orang miskin ternyata mampu memberi ruang untuk ?mengikat? persaudaraan yang bisa memerangi penderitaan.2 Pandangan ini berpijak dari spritualitas Yesus yang mau menjadi miskin dan membentuk persekutuan melawan musuh bersama: mamon.3 Inilah yang menjadi keabsahan Bagi Yesus dan para pengikutnya, ?spiritualitas? bukan hanya berjuang menjadi miskin tetapi juga berjuang bagi kaum miskin.4 Secara khusus dalam konteks Indonesia, salah seorang teolog yang mencoba memberikan banyak pandangan dalam merespon realita penderitaan di Indonesia adalah Emanuel Gerrit Singgih. Dalam buku ?Dua Konteks?, E.G. Singgih mencoba memberikan pandangan teologis berkaitan dengan panggilan kehidupan gereja dalam melihat realita kehidupan Era Reformasi yang turut menyisakan persoalan ?khaos?. Pada Era tersebut telah melahirkan kekerasan, pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, fundamentalisme, dll. Semua itu bermuara pada satu pokok masalah yaitu penderitaan orang Indonesia. Dari sinilah E.G. Singgih mencoba memulai teologinya dengan dua konteks yang berbeda yaitu hasil permenungan teks-teks Perjanjian Lama sebagai konteks dunia Alkitab, tetapi juga pergumulan orang Indonesia pasca Era Reformasi sebagai tinjauan selanjutnya konteks kehidupan masa kini. J.B. Banawiratma juga memberikan banyak pemikiran teologis terkait dengan konteks kemiskinan yang ada di Indonesia. Dalam buku ?Berteologi Sosial Lintas Ilmu?, Banawiratma mencoba memberikan salah satu pemikirannya bagi gereja dan masyarakat untuk masuk dalam dunia ?perkembangan sosial? yang dirasa di sanalah permasalahan kemiskinan ada. Pemikiran-pemikiran para teolog di atas banyak sekali menyinggung soal penderitaan, bahkan mereka memilih untuk memulai teologinya dari konteks penderitaan tersebut. Ada kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran ini sebenarnya bentuk semangat menanggapi perkataan Yesus dalam Yoh. 12:8 bahwa ??orang-orang miskin selalu ada pada kamu,?? atau bisa dipahami dengan kata lain bahwa ??orang-orang menderita selalu ada pada kamu,...?. Apa artinya? Ungkapan Yesus ini menegaskan dua hal penting bagi kehidupan kekristenan yaitu (a) pada dasarnya persoalan ?penderitaan? akan selalu ada dalam diri manusia. Penderitaan menjadi sebuah fakta sosial yang terus berlangsung secara terus menerus sepanjang abad. (b) Persoalan ?penderitaan? harus juga berlanjut pada panggilan para murid untuk secara terus menerus berbicara serta menggumulinya. Selanjutnya, sebagai apresiasi dalam dunia pendidikan teologi, tawaran pemikiran-pemikiran para teolog di atas ternyata juga menggiring kita untuk belajar lebih tajam belajar soal dunia penafsiran Alkitab secara modern, khas Asia.5 Sederhananya demikian, bahwa dalam merefleksikan narasi Alkitab para teolog di atas tidak melepaskan pemikiran ke-timuran-nya. Mereka selalu hadir sebagai seorang Kristen Asia yang selalu menghargai pola pikir, tradisi, budaya timur. Artinya, mereka menggumuli dan merefleksikan narasi Alkitab, sekaligus menempatkan pemikiran timur untuk bisa terus dihargai dalam konteksnya sendiri. Hal itulah yang menjadi fokus pembahasan penulis yang termaktub dalam bab 1. Di dalam bab I, penulis memaparkan garis besar konsep ?kebahagiaan?, sebagai salah satu ?tawaran? yang dapat dipakai untuk berbicara soal penderitaan. Konsep ini bisa kita didapatkan dari salah satu wacana budaya yang sedikit banyak mempengaruhi pola pikir orang Kristen di Indonesia. Diharapkan dari pengupasan konsep inilah akan muncul sebuah kajian pemikiran saat berbicara soal penderitaan hidup manusia. Oleh karena itu, penulis memilih filosofi Jawa sebagai salah satu budaya Indonesia yang cukup berperan mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia. Selain itu penulis juga akan memaparkan mengenai konsep ?kebahagiaan? Yesus dalam konteks penderitaan salib sebagai salah satu bagian penting dalam upaya penafsiran secara dialogis. Serta, memaparkan metode dan tujuan dari penulisan ini.}, keywords = {Tafsir, Lukas, Perjanjian baru, Jawa}, url = {https://katalog.ukdw.ac.id/3526/} }