TY - THES A1 - 01110038, MIKHA ULI SIMANUNGKALIT UR - https://katalog.ukdw.ac.id/2090/ TI - MONOTEISME DAN KEKERASAN, TAFSIR HAKIM-HAKIM 5 DAN REFLEKSI ATAS KEHIDUPAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA PB - Universitas Kristen Duta Wacana KW - Monoteisme KW - Kekerasan KW - Politik KW - Syair Sindiran KW - Jan Assmann KW - Schwartz KW - Identitas KW - Intervensi Yahweh KW - Teofani KW - Perang KW - Kanaan KW - Perbedaan Mosaik KW - Mitos KW - Israel KW - Debora KW - Yael KW - Barak. AV - restricted ID - katalog2090 EP - 92 M1 - skripsi N2 - Teks Hakim-Hakim (Hak) 5 merupakan nyanyian yang bersifat sindiran. Teks ini sudah mendapatkan kurang lebih tiga kali perubahan. Pada esensinya Hakim-Hakim 5 mengandung beberapa unsur dari monoteisme Israel kuno. Monoteisme dalam Hakim-Hakim 5 ini sendiri merupakan monoteisme Yahwisme atau yang biasa diketahui dengan penyembahan pada Yahweh saja. Adapun unsur-unsur monoteisme tersebut dalam Hak 5 sendiri antara lain: teofani Yahweh, kutuk, dll. Setelah ditafsirkan monoteisme Hak 5 menujukkan ketidakkonsistenan monoteisme. Semula monoteisme Hak 5 bersifat biasa saja, tetapi monoteisme Hak 5 sekarang bersifat lebih ekslusif karena editor secara sengaja mempergunakan unsur-unsur monoteisme yang telah disebut diatas untuk memperkuat identitas Israel (seperti tanah, kekeluargaan, bangsa, dan ingatan) dari musuh-musuhnya. Hal inilah yang disebut politisasi. Politisasi Hak 5 ini dengan demikian berbunyi lebih keras jika dibaca untuk konteks sekarang, atau dapatlah disebut mengandung kekerasan. Oleh politisasi ini kekerasan tadi mudah saja disebut bagian dari intervensi (campur tangan) Yahweh. Politisasi ini terlihat jelas dalam hal perang yang digambarkan oleh teks Hakim-Hakim 5 yang menggunakan unsur-unsur kekerasan seperti mitos (pada ayat 4-5, 19-21), Sikap pada penduduk Meroz yang berlebihan yakni sampai mengutuk, berbeda terhadap Israel (ayat 23, 15b-17). Hal ini secara langsung mengajak penulis untuk mencari tahu bagaiamana hal-hal diatas (khususnya tentang perang) sebelum ia terpolitisasi. Oleh karena itu monoteisme yang sudah dipolitisasi ini harus dipisahkan dan dicari soluasi agar tidak berakhir dengan kekerasan yakni dengan mengubahnya menjadi monoteisme inklusif, dengan adanya pandangan bahwa gambaran Allah memiliki penampakan yang bisa ditemukan dalam agama lain. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara etik seperti kasih, keadilan dan kebenaran. Y1 - 2016/07// ER -